Monday, April 23, 2007


Koteka dan Kegagalan Transformasi Struktural

MUNGKIN hanya terbawa rasa emosi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika Andreas Anggaibak, yang juga pendeklarasi pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, sesumbar bahwa masyarakat berkoteka mendukung pelaksanaan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Sesuai dengan pesanan pemerintah pusat, pihaknya menyatakan siap memimpin provinsi baru tersebut. Semoga itu bukan kata-kata kosong sekalipun banyak orang sesukunya sendiri pesimistis dengan ucapan tersebut.

SEBAGAI pintu keluar masyarakat pegunungan di Provinsi Papua, Timika yang menjadi ibu kota Kabupaten Mimika menjadi pilihan utama karena memang dapat berkembang dalam waktu yang tidak lebih dari sepuluh tahun. Suku-suku dari pegunungan berada di sana, antara lain dari Moni, Dani, Damal, Amungme, dan Kamoro yang merupakan suku pesisir.

Seperti sudah dikenal umum, sebagian besar masyarakat pegunungan tengah Provinsi Papua, khususnya kaum pria mereka, menggunakan pakaian tradisional yang terbuat dari labu yang dikeringkan, biasa disebut koteka. Sedangkan kaum wanita mereka menggunakan sali, sejenis rumput gajah yang dikeringkan untuk kemudian digunakan sebagai ganti rok.

Hingga saat ini masih ada masyarakat pegunungan tengah yang masih menggunakan pakaian tradisional tersebut. Bahkan, di Kota Timika, di mana ada berbagai jenis manusia dengan masing-masing latar belakangan sosial budayanya, dari yang modern sampai tercanggih, masih bisa didapati masyarakat yang menggunakan koteka.

Berkurangnya masyarakat pengguna koteka di daerah pegunungan tengah sedikit banyak akibat program "operasi koteka" yang pernah dilakukan Acub Zaenal ketika ia masih menjadi Gubernur Irian Jaya pada pertengahan tahun 1980-an. Program tersebut dilakukan di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dulu. Kini kabupaten tersebut dimekarkan menjadi empat, masing- masing Kabupaten Jayawijaya masih dengan ibu kota Wamena, Kabupaten Yanukimo, Kabupaten Tolikara, serta Kabupaten Pegunungan Bintang.

"Operasi koteka" itu sempat mendapat tantangan keras dari sejumlah pihak. Dengan alasan yang berbeda-beda. Entah perubahan pola pakaian tersebut yang tidak cocok apabila merujuk pada cuaca pegunungan yang dingin atau rumah masyarakat yang berbentuk lingkaran dengan garis tengah 2 sampai 3 meter dengan atap terbuat dari alang-alang dan tak berjendela.

Belum lagi kalau merujuk pada kebiasaan mandi mereka yang sama sekali tidak mengenal teknologi sabun. Dengan begitu, jika dilakukan perubahan kebiasaan dari cara berpakaian yang semula berkoteka atau bersali menjadi bercelana dan berbaju, jelas tidaklah lengkap apabila tidak diberikan sabunnya sekaligus.

Perubahan terhadap masyarakat Papua, khususnya masyarakat pegunungan, juga menghadapi kesulitan apabila ini dilakukan pada pola bercocok tanam mereka. Boleh jadi masyarakat pegunungan Papua merupakan masyarakat paling genius sedunia. Sebab, dalam keterbatasan lahan yang mereka miliki, tetap saja mereka memiliki teknologi yang mungkin belum banyak diketahui, yakni kemampuan mereka mencari serta menciptakan jenis ipere (ubi jalar, bahasa Dani) terbaik.

Tentu dengan kondisi lahan tempat mereka hidup yang sulit karena berada di bukit-bukit, di tebing-tebing yang terjal serta di lembah-lembah yang selalu ditemani embun yang kadang akan berubah menjadi butiran es di pagi hari, praktis tidak ada lagi cara bercocok tanam yang cocok selain menanam ipere.

Sementara masyarakat pantai dan pedalaman Provinsi Papua juga dimanjakan oleh hutan sagu yang mengurung mereka. Akibatnya, memang agak sulit untuk memberikan stimulus guna mengubah pola bercocok tanam mereka, dari peramu menjadi penanam yang akan memetik hasilnya pada periode tertentu. Selain lokasinya di pegunungan yang tidak mungkin, di pesisir dan pedalaman pun sulit untuk mencari lahan sawah potensial, misalnya, yang bisa dijadikan tempat bercocok tanam.

Dengan bekal yang minim karena sekolah pun tidak dapat diselesaikan dengan baik di tempat asal mereka, tentu kesempatan untuk bersaing dengan saudara-saudara mereka dari luar provinsi terbesar itu pun sangat kecil. Mereka segera tersisih ketika menjadi urban di kota-kota besar Provinsi Papua, seperti di Timika, dan mencoba mengisi lapangan pekerjaan yang ada.

Hal tersebut dapat dilihat dari pengemudi becak atau pengemudi ojek motor yang ada di Kota Timika. Sekalipun jumlahnya ribuan, pengemudi becak atau pengemudi ojek motor yang merupakan putra daerah bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Akan tetapi kalau mau melihat putra daerah yang menjadi penumpangnya, itu bisa ditemui di berbagai penjuru Kota Timika.

Cepatnya perkembangan Kota Timika mungkin menjadi penyebab kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat Papua sendiri. Berbeda memang dengan di Wamena, di mana semua pengemudi becaknya putra daerah sendiri.

Tentu untuk menciptakan pengemudi becak dari pemuda-pemuda setempat, Bupati JB Wenas, saat itu, harus berjuang keras. Ia harus membuang waktu untuk lebih dulu melakukan pelatihan agar warganya juga dapat mengemudi dengan baik serta mengetahui aturan lalu lintas di jalan.

PEKERJAAN rumah belum selesai sampai titik itu saja. Hal itu sangat disadari Wenas yang berasal dari kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini. Itu sebabnya, ia pun membuat peraturan yang sifatnya melindungi hak-hak pemuda Wamena. Pendatang tidak diizinkan menjadi tukang becak. Itu sebabnya, hingga kini, tidak ada tukang becak yang merupakan warga pendatang.

Hal itu sebenarnya juga bisa dilakukan di kota kabupaten lainnya, seperti di Timika, Sorong, atau Jayapura. Entah sebagai pengojek motor atau pengemudi angkutan umum. Hanya memang untuk menciptakan pengojek maupun pengemudi angkutan umum diperlukan kerja keras. Sebab, lebih dulu harus dilakukan transfer teknologi, mulai dari keterampilan mengemudi sendiri sampai pada pengetahuan tentang aturan dan rambu lalu lintas.

Memang kesu